Pada peluncurannya di bulan Agustus kemudian, Galaxy Note 7 digadang-gadang sebagai ponsel terbaik di pasaran. Perpaduan kelebihan teknologi terkini dari Samsung menyatu secara harmonis dalam layarnya yang berukuran 5,7 inchi. Tidak cuma itu, ponsel ini mempunyai fitur tahan air termasuk pada S Pen, pengamanan tingkat tinggi yang mengombinasikan Samsung Knox dengan fitur baru pemindaian iris pada mata, dan kemampuan streaming video HDR.
Foto oleh @NetOn_id
Tak mengherankan jikalau produk ini amat ditunggu. Di negara asal Samsung sendiri tercatat sebanyak 200.000 pre-order dalam dua hari. Dan permintaan di negara lain menimbulkan kelangkaan pada beberapa wilayah.
Namun apa yang terjadi dua bulan berselang sungguh di luar asumsi. Produk berkategori premium ini berubah dari calon mesin uang menjadi tragedi besar.
Sebuah survei modern menawarkan sejumlah besar pemilik Samsung tidak bakal mau membeli merek itu lagi.
Branding Brand yang ialah sebuah platform mobile e-commerce, melakukan survei kepada 1.000 orang terkait perasaan mereka pada tanggal 11 dan 12 Oktober. Itu yakni tanggal dimana Samsung mengeluarkan pernyataan akan memberhentikan penjualan, pertukaran, dan bikinan Galaxy Note 7. Sebagaimana diberitakan via CNET [15/10], 40 persen responden menyatakan bahwa mereka sudah tak mau lagi memiliki masalah dengan Samsung.
Apa saja yang terjadi selang waktu tersebut? Berikut beberapa di antaranya.
Samsung “meledak” di pasaran
Dua minggu setelah rilis ke pasaran, Samsung dilaporkan menangguhkan pengantaran dikarenakan berbagai laporan terbakarnya ponsel.
Berita ini pasti sungguh merugikan, terlebih waktu itu Apple dijadwalkan bakal segera merilis iPhone 7. Pada titik ini kepanikan belum melanda karena bukan pertama kalinya muncul isu ponsel terbakar.
Foto : Jurnal123
Barulah di awal September, perusahaan mengonfirmasi beragam kecurigaan dengan mengeluarkan pernyataan bahwa mereka akan menginvestigasi secara mendalam untuk mencari kemungkinan penyebab ponsel terbakar. Tidak usang lalu, tanggal 2 September, Samsung mulai melakukan penarikan Note 7 dari pasaran. Dikutip dari TechCrunch, penarikan ini diperkirakan merugikan Samsung sampai $ 1 milyar.
Menyusul kebijakan ini mulai muncul larangan menenteng Note 7 dalam penerbangan, dan Garuda Indonesia termasuk salah satu penerbangan yang memberlakukannya.
Pada tanggal 15 September, US Consumer Product Safety Commision, komisi keselamatan produk konsumen di Amerika Serikat secara resmi “mendesak seluruh pelanggan untuk memanfaatkan penarikan sesegera mungkin”, dengan cara menukarkan Note 7 yang dimilikinya.
Tanggal 20 September, sekitar 500.000 unit disebarkan ke aneka macam lokasi ritel. Dua hari kemudian Samsung memberitahukan sekitar setengah dari keseluruhan unit Note 7 di Amerika Serikat sudah ditukarkan. Sekitar lima hari lalu, campuran angka di Amerika Serikat dan Korea sekitar 60 persen.
Tanggal 5 Oktober, terjadi peristiwa di gerbang pesawat Southwest, dimana ponsel yang sudah dimatikan, yang ternyata merupakan versi pengganti Note 7 mengeluarkan asap.
Seiring meningkatnya jumlah laporan produk pengganti yang berurusan, Samsung mengeluarkan pernyataan: “Kami terus bergerak cepat untuk menginvestigasi kasus yang dilaporkan untuk menemukan penyebabnya dan akan membagi penemuannya sesegera mungkin”.
Sekitar seminggu lalu, Samsung meminta mitra-kawan penjualannya untuk menghentikan penjualan Note 7, dan pada akibatnya secara resmi menghentikan produksi dan pemasaran Note 7.
Mungkinkah ini selesai masa kejayaan ponsel Samsung?
Demikian judul postingan dari editor TechCrunch [13/10], John Biggs. Ia menulis, “Pertimbangkan kerusakan yang terjadi terhadap merek [Samsung]. Para pilot memberitahu user agar tidak menyalakan Note 7 ketika akan lepas landas. Penarikan penuh [produk] kini membuat semua orang berpikir ponsel Samsung mereka mampu meledak kapan saja. Kerusakan yang disebabkan baterai yang meledak ini sungguh-sungguh menyeluruh.’
Lebih lanjut, beliau mengutip Natasha Lomas yang menulis, “analis mengestimasi bahwa penghentian permanen terhadap pemasaran Note 7 mampu membebani perusahaan sampai $ 17 milyar.”Apa artinya semua ini? “Samsung kehilangan banyak duit dan banyak kesetiaan merek (brand loyalty),” tulis Biggs.
Bagaimana nasib Samsung selanjutnya?
Dikutip dari ZDNet [13/10], Neil Cybart, seorang analis independen memperkirakan dari estimasi sekitar 8 juta orang akan tetap loyal kepada Samsung dimana mereka akan berbelanja perangkat Samsung yang lain, yang kemungkinan ialah Galaxy S6.
Sementara dari survei Branding Brand, masih terdapat responden yang loyal terhadap Samsung, dimana 77 persen di antaranya berargumentasi tidak ingin sibuk-sibuk mempelajari ponsel yang lain.
Patutlah Samsung sedikit bernafas lega. Di tengah besarnya tingkat tragedi yang terjadi, Samsung masih memiliki basis pengguna yang loyal.
Di samping itu, Samsung tidak sepenuhnya hancur. Mark Ritson, kolumnis The Australian [17/10], menulis, “Memang, ini ialah tantangan besar bagi Samsung, implikasi laba multi-milyar selalu menjadi tantangannya. Namun ini tak akan menjadi krisis merek yang besar mirip yang diperkirakan banyak orang.”
Ia mengacu pada kasus yang terjadi pada beberapa perusahaan besar yang lain. Di antaranya perkara “Dieselgate” yang terjadi di tahun 2015, ketika United States Environmental Protection Agency (EPA), agensi pemberian lingkungan Amerika Serikat, mengeluarkan sanksi Clean Air Act, akte kebersihan udara, kepada perusahaan Jerman, Volkswagen.
Volkswagen dimengerti sengaja mendesain mesin dieselnya untuk mengaktifkan kendali emisi tertentu hanya dikala pengujian laboratorium. Pemrograman ini menyebabkan tingkat keluaran NOx menyanggupi kriteria AS selama pengujian tetapi mengeluarkan 40 kali lebih banyak NOx ketika pengendaraan riil.
Ritson mengatakan, “Skandal ‘Dieselgate’ yang mensugesti Volkswagen pada tahun 2015 serta yang menciptakan dilema Samsung terlihat mirip kejadian kecil sudah mempengaruhi pemasaran manufaktur asal Jerman itu namun tidak hingga pada tingkat yang diprediksi setahun lalu. VW menutup tahun 2015 dengan pemasaran yang meningkat 10 persen dan tetap menjadi manufaktur kendaraan beroda empat berpenjualan terbaik ke-8 di Australia.”
Ritson menyebutkan beberapa acuan lainnya, mirip Apple sebagai “perusahaan paling dikagumi” model majalah Fortune justru berseteru dengan Uni Eropa soal pajaknya di Irlandia sebab tudingan ber-persentase lebih kecil dari perusahaan lainnya, kemudian yang modern skandal yang melibatkan para CEO empat bank terkemuka di Australia di awal bulan ini.
Kesimpulannya bukan memiliki arti perusahaan mampu mendustai pelanggan dan lolos begitu saja. Melainkan suatu pernyataan yang lebih kelam akan kepercayaan konsumen terhadap korporasi abad kini. Lelah oleh beberapa tahun pelanggaran dan kemunafikan perusahaan, sebagian besar konsumen tidak lagi berharap terlalu banyak dari merek yang mereka sanjung.
“Samsung akan mendapati lubang menganga pada segi keuangannya dari krisis ini, namun kejadian belakangan tidak akan memiliki dampak bekepanjangan pada mereknya atau prospek jangka panjangnya,” tutup Ritson.
Sumber mesti di isi