Apa Yang Bisa Kita Pelajari Dari Matinya Yahoo!? Renungan Massal Untuk Pengusaha Online

yahoo-billboard-2009-hed-2015


Sempat turun semenjak 2011, billboard ini naik kembali untuk sementara. (c) Adweek


Yahoo! Di akhir dekade 1990an sampai awal 2000an, Yahoo! adalah padanan kata internet, sama halnya dengan Google di kala kini. Dengan berbagai layanan gratis yang vital bagi kelancaran hidup warga internet periode itu, tak ada yang bakal menyangka Yahoo! bakal mempunyai era depan suram. Tentu banyak di antara kita yang masih memakai alamat email Yahoo, pernah mengalami serunya mengobrol di kanal dialog Yahoo! Messenger, mempunyai website statis di (almarhum) Geocities, atau mengunggah foto-foto beresolusi tinggi ke Flickr.


Sayangnya, sekarang kejayaan Yahoo tinggal ingatan. Sejak 2007, Yahoo sudah mulai menutup berbagai layanan yang mulanya disediakan secara gratis, karena menurunnya jumlah pengguna. Layanan mirip Geocities, Yahoo! 360, Yahoo! Avatars, dan Yahoo! Go secara perlahan dinonaktifkan, demi menghemat kerugian. Sayangnya, upaya ini tidak terlalu membantu keadaan keuangan Yahoo, alasannya adalah perusahaan hingga kini masih berada dalam zona merah. Pada kuartal 1 2016, perusahaan yang dikomandoi Marissa Meyer ini mengalami penurunan pemasukan 12 persen dibanding masa yang serupa tahun lalu. Bahkan, Marissa Meyer akan segera meninggalkan Yahoo, dengan pesangon sebesar 55 juta dolar.


Penurunan pemasukan ini pasti bukan kabar yang sedap didengar oleh para investor. Yahoo pun menyadari hal ini, dan dikabarkan tengah mencari pembeli untuk bisnis inti internetnya. Pembeli akan mendapatkan berbagai teknologi Yahoo!, termasuk layanan email gratis Yahoo! Mail, layanan microblogging Tumblr, dan layanan berbagi foto Flickr. Sebenarnya, kabar dijualnya Yahoo bukanlah sesuatu yang baru. Pada tahun 2008, Yahoo! sempat nyaris dicaplok Microsoft, dengan nilai ajuan 44,6 milyar dolar AS. Sayangnya, manajemen Yahoo menolak anjuran ini, dan masih mencoba bangkit dari zona merah. Sayangnya, usaha tersebut kelihatannya sia-sia.


Lalu sekarang, berapa harga Yahoo? Agaknya sukar memasang harga untuk situs yang dulunya ialah raksasa internet ini. Namun, beberapa analis menganggap bahwa aset-aset inti Yahoo masih bisa terjual dengan harga 4 hingga 10 milyar dolar AS. Perhitungan tersebut belum termasuk kepemilikan saham Yahoo di Alibaba, yang nilainya juga milyaran dolar. Namun demikian, tetap saja harga tersebut masih sungguh jauh lebih murah dibanding penawaran Microsoft delapan tahun lalu. Sebenarnya, ada apa dengan Yahoo, sehingga perusahaan yang dulunya besar ini mampu mengalami kemunduran dramatis?


Salah satu alasan kemunduran Yahoo adalah tidak adanya fokus jangka panjang. Untuk mampu meraih keberhasilan, suatu perusahaan mesti mempunyai konsentrasi operasional dan strategi jangka panjang yang bagus. Sejak permulaan, taktik Yahoo yakni “menjadi semua hal untuk setiap orang”. Yahoo tidak memiliki konsentrasi pada layanan atau produk tertentu, sehingga di abad jayanya, Yahoo rajin membuka (atau membeli) dan menutup layanan baru. Kebiasaan ini tidak hilang bahkan sehabis Yahoo! berada di zona merah. Sebagai acuan, untuk meraih basis pengguna di Indonesia, Yahoo mengakuisisi Koprol pada 2010. Setelah dianggap tak menguntungkan, Yahoo pun mengembalikan Koprol pada pemiliknya pada pertengahan 2012. Hal yang sama juga terjadi pada Astrid, layanan manajemen peran berbasis Android yang diakuisisi pada bulan Mei 2013 dan ditutup pada bulan Agustus di tahun yang sama.


Kebiasaan Yahoo membuka dan menutup layanan mengikuti tren pasar ini pastinya berakibat jelek bagi periode depan perusahaan. Penutupan layanan, sekecil apa pun basis penggunanya, bisa menyebabkan perusahaan menerima stigma “tak tepercaya”, utamanya jikalau tidak ada cara menyelamatkan data pengguna. Kepercayaan pengguna yang menurun pasti berakibat juga pada penurunan jumlah kunjungan (dan tampilan iklan).


Ketiadaan konsentrasi juga menyusahkan Yahoo memilih dan membuatkan layanan inti. Di dikala Google terus berbagi algoritma mesin pencarinya, Yahoo nampaknya telah menyerah, dan beralih menggunakan hasil penelusuran dari Bing semenjak 2009. Yahoo Mail pun nampaknya tak banyak mendapat penambahan fitur, di ketika Hotmail (kini Outlook) dan Gmail berlomba-kontes menyertakan berbagai fitur yang mempermudah pengguna berkirim surat elektronik. Yahoo pun kehilangan saat-saat di pasar pesan instan. Padahal kalau Yahoo mau berupaya menciptakan aplikasi ponsel cendekia yang lebih bagus dengan fitur setara klien desktopnya, Yahoo berkesempatan melindas Line, WhatsApp, maupun Viber. Flickr dan Tumblr pun disebut-sebut menerapkan aturan yang tak ramah pengguna, di ketika pesaingnya berlomba mengambil hati eks pengguna kedua situs tersebut.


Sebagai pengguna, menyaksikan ajal situs yang dulu menjadi padanan kata internet pasti menyedihkan. Namun demikian, pasti ada pelajaran yang bisa kita ambil dari matinya Yahoo. Sudahkah kita memiliki konsentrasi jangka panjang untuk mengembangkan usaha atau layanan internet yang kita tawarkan? Jangan-jangan, nanti usaha kita disebut dalam dongeng; “Dulu, ada sebuah situs, namanya…”



Sumber harus di isi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama