Benarkah Daya Beli Masyarakat Menurun? Atau..Ah Sudahlah.

Ini pertanyaan besar yang senantiasa dijadikan kambing hitam tutupnya beberapa gerai retail seperti Ramayana dan Lotus, bahkan Debenhams di Senayan City. Walaupun PT. Mitra Adi Perkasa Tbk, pemilik pemegang hak merek Lotus dan Debenhams di Indonesia, telah memberikan penjelasan bahwa tutupnya dua gerai itu dikarenakan restrukturisasi usaha hasil dari review bisnis pada bulan Juni 2017.


Pernah liat dan baca goresan pena di Facebook ihwal sepinya Glodok? Ada dua versi penyebab tutupnya toko-toko disana. Yang pertama adalah karena orang udah belanja via online. Masuk akal juga. Saya kalo beli peralatan yang fix, tujuannya terang kebutuhan dan kapasitasnya, ketimbang sibuk-sibuk ke toko ya mendingan beli online. Tungguin satu/dua hari sampe rumah. gak usah panas dan macet ria.


daya beli
Gambar : storyblocks

Alesan yang kedua, dikarenakan menjamurnya mall-mall di pinggiran kota, suburban area. Mall jaman now juga udah berganti banyak. Udah berupa leisure mall. Pernah ke TransMart? Ada kawasan belanjanya, kawasan bermainnya sampai dengan mini Themepark. Katanya, mall jaman kini juga telah beralih ke mall komunitas. Berdiri di tengah-tengah komunitas masyarakat tertentu dan melayani segmen market yang niche dan tajam.


Tapi baiklah lah. Glodok sepi boleh alasannya apa saja. Tapi apakah daya beli kita yang menurun? Boleh dong kita berkaca ke diri kita sendiri. Saya aja deh. Sebagai kelas menengah ngehe, semua ciri-ciri yang digambarkan oleh banyak pengamat udah nempel di diri aku – dan anda mungkin. Ciri yang paling pas digambarkan sama Mas Yuswohadi, kalo kelas menengah kini banyak menunda pembelian barang-barang sebab nabung buat liburan. Apa iya?


Gini saja. Buat aku dan keluarga, piknik telah jadi kebutuhan. Setiap tahun selalu diusahakan dua kali liburan. Terkadang, masih dalam waktu liburan pun kami telah ngomongin : whats next? piknik kemana berikutnya. Karena kami sekeluarga hanya bertiga (saya, istri dan anak 11 tahun) maka sepakatlah bahwa pola liburan ditentukan dengan digilir. Terakhir kami ke keliling Nepal hingga dengan basecamp Annapurna, itu pilihan saya. Setelah ini giliran anak aku yang menentukan. Katanya beliau ingin ke pantai. Praktis-mudahan yang deket-deket aja hahaha


Baca juga : Strategi Pemasaran Digital Saat Ini : The End Of Branding, The Rise Of Copywriting


Pertanyaannya yaitu : seberapa banyak orang yang mirip aku dan keluarga? Jawabannya : banyak banget. Sambil baca ini silakan berkaca ke diri anda sendiri. Tapi kalo bicara statistik, menurut UNFPA 2015, mulai dari tahun 2010 dan akan mencapai puncaknya pada tahun 2030, nyaris 70% penduduk Indonesia berada dalam usia produktif untuk melakukan pekerjaan (15-64 tahun), kalo penduduk Indonesia 262 juta (berdasarkan SmartInsight 2017), maka ada lebih dari 183 juta orang yang sedang bekerja.


Kelas menengah ini, kalo berdasarkan McKinsey namanya ‘consuming class‘, di tahun 2010 hanya berjmlah 45 juta. Dengan skenario perkembangan ekonomi 5-6%, ditahun 2020 diperkirakan akan mencapai 85 juta dan di 2030 akan melesat ke 135 juta orang. Secara angka ini mengagumkan. Pertanyaannya : Mengapa faktanya banyak toko pada tutup? Secara rasionalnya : pembelinya ada, tapi kenapa tokonya pada tutup?


Jawabannya kita semua telah tahu. Ada satu hal yang senantiasa menjadi misteri, yaitu behaviour konsumen. Semua angka-angka yang ada bisa menebak arah tujuan dan mengusut apa yang telah terjadi, tetapi siapa yang mampu menebak arah sikap seseorang.


Big Data


Saya memperhatikan ini dari bertahun-tahun terakhir. Ilmu penjualan ternyata telah terlalu usang untuk bangun sendiri. Growth Hack Marketing ada alasannya adalah ilmu programmer/insinyur yang menyasar divisi penjualan. Sekarang ini, pergeseran sikap pelanggan, baik secara global maupu nasional, tidak akan mampu hanya dibaca oleh ahli penjualan saja, atau jago ekonomi saja, namun harus ada ilmu psikologi yang dipake.


Gambar : storyblocks

Sudah banyak mahir yang membicarakan ini. Alexander Nix, ini idola gres aku, Founder dari Cambridge Analytica, suatu perusahaan analisis sikap konsumen di USA, secara brilian berhasil mengungguli Donald Trump karena berhasil menterjemahkan (dan mengeksploitasi) tren ke dalam angka-angka yang mampu diperkirakan. Ada tiga ilmu yang dipake disini : ilmu penjualan, ilmu Big Data Analytic dan ilmu psikologi.


Ilmu perihal Big Data, bagi yang belum tahu, ini adalah rekaman data kita. Semua yang kita lakukan, baik online maupun offline, meninggalkan rekam jejak digital. Setiap pembelian yang kita kerjakan secara online, setiap search query yang kita lakukan di search engine, setiap pergerakan kita bareng dengan smarphone, bahkan setiap ‘like’ dan ‘share’ kita disimpan rapi di rekaman digital kita.


Secara mudah, konsep Big data digambarkan oleh Gojek yang tahun lalu berhasil mengantarkan 3 juta martabak. Otak aku bilang, memiliki arti Gojek mempunyai data kemudian lintas martabak di Indonesia (atau di kota-kota besar di Indonesia). Ini memiliki arti, Gojek paham betul, daerah mana yang order martabak paling banyak, namun belum punya gerai martabak. Cling-cling gak tuh. Sounds yummy, eh?


Namanya Psikometrik (Psychiometrics), kalo jaman dulu suka disebut Psychographics. Sejak tahun 80an, penilaian personality banyak yang mempergunakan the Big Five. Yaitu atribut :


1. Openness (seberapa terbuka anda mendapatkan sesuatu yang baru)

2. Conscientiousness (seberapa perfeksiniskah anda)

3. Extroversion (seberapa bersosialisasikah anda)

4. Agreeableness (seberapa kooperatifkah anda)

5. Neuroticism (seberapa cepat murka kah anda)


Big Five ini terkadang disebut dengan OCEAN, yang ialah kependekan dari kelimanya. Metode ini banyak digunakan oleh berbagai golongan untuk mendeskripsikan harapan dan keperluan konsumen. Kelemahan besarnya ialah cara pengumpulan data yang membutuhkan kuesioner yang panjang dengan pertanyaan yang sangat-sangat personal.


Kemudian muncullah Internet. Dan Facebook.


Tahun 2012, Michal Kosinski, seorang doktor dari Cambridge University, sukses memetakan sikap seseorang dari like, share dan posting yang dilakukan di Facebook. Penelitiannya sungguh fenomenal alasannya mengkombinasikan OCEAN Method dengan teknologi. Hasilnya yakni, hanya menurut analisa dari 68 ‘like’ oleh satu akun facebook tertentu, bisa diprediksi warna kulit akun tersebut dengan akurasi 95%, gender dari akun tersebut juga mampu ketahuan dengan akurasi 88%. Lebih dari itu, menurut data tersebut, bisa juga diputuskan kecenderungannya terhadap alkohol, rokok dan bahkan obat-obatan.


Semua cuma dari data yang ada di Facebook.


Yang ingin aku sampaikan adalah bahwa semua data yang dipakai oleh pengamat itu sungguh makro. Data dari McKinsey, WorldBank, CitiBank sampai dengan Bapennas adalah data valid yang mampu dipakai untuk kepentingan ekonomi makro. Iyes, perkembangan ekonomi kita masih setuju. Iyes, data perkembangan industri manufaktur hanya 4%, Iya juga bahwa industri otomotif kita mengalami kemunduran sedikit. Iya, consuming class kita akan secepatnya viralatau iya juga bahwa Indonesia memiliki ekonomi yang steady di 10 tahun terakhir ini.


Data ini hebat. Tapi kejauhan, menurut aku.


Perilaku pelanggan Indonesia senantiasa dapat digambarkan ke dalam apa yang ada di sekitar kita. Yang dilaksanakan oleh Michal Konsinski yakni mendulang data dari apa yang kita kerjakan sehari-hari di Facebook. Dan Facebook yaitu kita banget.


Jadi, apakah daya beli masyarakat kita turun?


Ada, tetapi tidak seluruhnya.Lebih kepada teladan perilakunya yang bergeser.


1. Masyarakat saat ini telah pada melek internet. Diprediksi sekitar 120 juta orang akan melek internet di tahun 2018. Kalo telah paham memakai internet, maka maunya akan macam-macam. Berarti acuan pembelian sudah berubahke online kah? Iya bener. Lho tetapi riset AC Nielsen bilang kalo pangsa pasar jual beli digital hanya 1%? Nyengir dulu saja deh.


Bukalapak saja jumlah transaksinya ketika ini sekitar 150ribuan per hari dengan nilai transaksi mencapai 1 triliun rupiah sebulan. Pelapaknya ada 1,7 juta. Jasa pengantaran JNE semenjak tahun 2010 terus bertumbuh 30% dalam jumlah pengantaran dengan rata-rata pengiriman paket sebanyak 16 juta dalam sebulan.


Tokopedia lebih sangar. Nilai transaksi triliunan dalam sebulan telah dicapai beberapa tahun kemudian. Tahun 2016 saja, lebih dari 16,5 juta produk diantarkan ke pembeli yang berasal dari Sabang hingga Merauke. Ditambah lagi marketplace rising star, Shopee, yang juga telah membukukan transaksi sebanyak 100ribu setiap bulannya pada akhir tahun 2016. Sekarang mungkin datanya telah kian banyak lagi.


Ketiga marketplace ini mengklaim tidak ada penurunan dalam omzet. Artinya daya beli penduduk secara online tetap atau bahkan naek.


Melihat data itu, masuk akal kalo dikatakan online marketplace telah mengambil alih cara belanja tradisional yang datang langsung ke mall. Dateng ke mall, untuk berbelanja, itu menyita waktu dan tenaga. Belum lagi barang yang dipilih disediakan dalam tatanan yang tidak user-friendly. Kita mesti betul-betul keliling dan menyaksikan barangnya untuk membeli.


Nah kini coba tanya orang di sekeliling anda. Kalo beliau menggunakan hijab, dimana beli hijabnya. Istri saya langganan di HijabChic, toko online hijab yang bermarkas di Bandung. Pola perilaku konsumen dikala ini telah menginginkan baju rasa butik. Tidak ingin mempunyai baju yang dipunyai oleh banyak orang.


Sama saja mirip saya, kalo ngopi nggak pernah di Starbak. Terlalu mainstream. Selalu memilih kledai kopi spesialty yang justru lebih unik dan menawan.


Membeli baju dan aksesoris yang custom, atau paling at least tidak di bikinan massal telah menjadi kewajiban. Jadi banyak konsumen yang beralih ke toko-toko online kecil dengan barang custom yang mampu dipesan sesuai keinginan kita.


Makara kenapa toko retail itu tutup. Salah taktik. Konsumen sekarang pengen yang unik, dibuat sedikit dan bermutu anggun. Mereka tahu tidak akan dapat yang mirip itu di toko retail besar. Merek-mereknya sudah terlalu mainstream.


Gelombang acuan preferensi produk yang mirip ini pernah terjadi di Bandung dengan maju pesatnya toko Distro bertahun-tahun yang lalu. Distro intinya adalah toko baju yang menawarkan produk yang unik dan tidak ada di tempat lainnya. Konsepnya mirip mirip butik. Semua anak muda Bandung (dan wisatawan yang masuk Bandung) berbelanja baju di Distro. Sayangnya saat ini bisnis ini juga telah mulai saturated. Terlalu banyak Distro rupanya tidak elok juga untuk bisnis.


Jangan dilupakan, gerai retail ialah mata rantai di hilir. Ekonomi terlihat hancur bila di industri hulu yang ditutup. Analoginya gini, pasokan kain tetap melimpah, namun baju alhasil sekarang telah tidak lagi dipasarkan via gerai retail, tetapi lewat toko online UKM.


Pabrik kainnya tetap hidup, posisi di hilir yang berganti alasannya adalah seruan pasar yang berubah.


2. Liburan, piknik dan piknik. Mas Yuswohady menyebutkan wacana Leisure Economy, dimana orang telah melihat piknik selaku hal yang utama, bukan lagi sekunder. Lihat saja di Terminal 1 Bandara Soekarno Hatta tiap pagi jam 5 telah kayak pasar. Harga tiket pesawat yan murah menarik minat banyak orang untuk bepergian. Ini tidak mampu disangkal.


Teman saya di kantor kini pilih piknik juga gak mau yang mainstream. Selalu ke tempat yang cocok dengan interest mereka. Yang suka K-Pop, udah deh, liburannya gak jauh dari negara Korea Selatan. Beberapa sahabat juga menyebutkan Jepang. Yang lainnya malah ingin overland ke Kamboja, Myanmar dan Vietnam.


Kalo yang dalam negeri, Bali masih menjadi tujuan utama. Tetapi Pantai Kuta telah mulai bukan menjadi tujuan utama. Saya menentukan Ubud. Ada sahabat yang tidak pernah mampu lepas dari Seminyak. Artinya, Bali sudah bukan lagi tentang pantai. Beberapa sahabat lainnya menentukan Bali alasannya kulinernya. Pilihan menjadi kian bermacam-macam.


Orang yang memilih untuk liburan dengan preferensi di atas, mereka pasti juga berbelanja online. Artinya peningkatan angka kelas menengah, juga diimbangi dengan pergantian acuan alokasi dana.


Secara kasat mata aku mampu menyaksikan kok : orang yang berbelanja online lazimnya berasumsi bahwa liburan adalah penting. Sebagian dari mereka juga mulai menabung dalam bentuk emas. Karena mereka ini sudah melek investasi. Mencari pegangan untuk jangka panjang. Sudah bukan lagi di deposito atau simpanan, namun di emas. Dan emas tidak terdeteksi oleh forum keuangan manapun.


3. Ada satu hal penting yang dilupakan oleh pengamat. Bahwa pemerintah ketika ini sedang konsentrasi habis-habisan di infrastruktur. Anggaran negara dipakai banyak di penambahan infrastruktur; baik jalan tol, pelabuhan, bandara atau sarana publik yang lain. Saya sih paham, kita sangat ketinggalan oleh negara lain dalam hal yang satu ini.


MRT, LRT, jalan tol hingga dengan e-money, sebut saja, kita sungguh sangat ketinggalan. Makanya harus dikejar. Habislah itu duwit buat infrastruktur. Padahal, kalo memang daya beli penduduk kini turun, ada cara mudah untuk menjadikannya kembali menjadi naek. Guyur saja dengan acara BLT (Bantuan Langsung Tunai). Suruh rakyat ambil duwit gratis di kantor pos, maka serta merta daya beli akan kembali naek.


Tapi pemerintah menentukan untuk membangun infrastruktur. Ini bukan langkah populer, tetapi dijalanin juga. Secara jangka panjang, membangun sarana dan prasarana akan lebih menguntungkan dibandingkan dengan hanya menawarkan BLT. Bukan hanya prinsip pemerataan ekonomi yang didapat, namun juga secara psikis akan menimbulkan kesamarataan perhatian dan pembangunan.


Kalo nanti ada yang komen di bawah bilang kalo duwitnya ini hasil dari hutang maka aku akan mempertanyakan balik, ini bukan dilema sumbernya darimana, tapi dipakainya untuk apa.


Oiya, upaya ada juga sih dengan disalurkan dana desa yang ditahun 2018 akan berjumlah Rp 60 Triliun ke sekitar 74 ribu desa. Praktis-mudahan ini mampu menjadi enabler peningkatan daya beli.


4. Faisal Basri dalam goresan pena Transformasi Struktural dan Daya Beli juga memaparkan terjadi penurunan daya beli pada kelompok 40% termiskin. Saya sulit bilang kalo yang ini. Di golongan yang ini, penggunaan barang tidak melibatkan bagian emosi sama sekali. Pembelian barang betul-betul berdasarkan fungsi dan kegunaan.


Asumsi aku, tidak ada pergeseran perilaku yang signifikan dalam golongan masyarakat yang ini. Kalaupun terdapat perubahan acuan alokasi keuangan, itu tidak akan menambah simpanan atau liburan.


Tetapi ini tidak akan lama. Dengan dibangunnya insfrastruktur, harga barang di luar jawa akan (dan sudah) turun drastis. Saya bukan orang ekonomi, jadi gak ngerti dampaknya apa, tetapi kalo acuan distribusi sudah baik, ya seharusnya harga mampu dikendalikan.


5. Pengusaha semakin banyak. Catetan dari Kementrian Koperasi dan UKM, kian banyak penduduk Indonesia yang mengawali usaha sendiri. Dalam 3 tahun pemerintahan yang sekarang, julah wirausahawan baru naik menjadi 3,1% dari jumlah penduduk. Sebelumnya cuma tercatat 1,56% saja. Itu berarti ketika ini ada sekitar 8,1 juta wirausaha baru. Idealnya, katanya, dalam suatu negara terdapat 10% usahawan.


Karena pebisnis gres semakin banyak, duwitnya banya kepake buat modal perjuangan. Akhirnya meminimalkan konsumsi sehari-hari yang lain. Lebih baik dipake buat modal daripada dibeliin baju gres. Mungkin begitu pemikirannya.


6. Entah ini relevan atau tidak. Tetapi aroma wait and see di masyarakat sekarang ini sungguh berasa. Kalo di yang melek teknologi, sedang menunggu dengan tabah kemajuan naik dan turunnya Cryptocurrency, baik Bitcoin atau yang lainnya. Beberapa lainnya juga menantikan platform ICO (Initial Coin Offering) untuk menjadi lebih sampaumur dan mumpuni biar bisa lebih diandalkan lagi oleh masyarakat dunia. ICO ini ialah counter IPO, sangat memudahkan dunia industri untuk menerima dana segar dari mana saja.


Ah, sekali lagi. Ini goresan pena cuma tambahan dari goresan pena banyak pengamat yang juga telah banyak beredar di grup whatsapp atau bersliweran di Facebook. bila anda mempunyai usulan lain, atau aliran yang menambahkan, monggo silakan komen di bawah. Kita diskusi saja. Yuk.



Sumber mesti di isi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama