Pasar Online Lokal Indonesia : Diantara Kedai Kopi Dan Penjualan Rasa Ingin Tau


Pagi ini aku kepagian. Maksudnya, hari ini saya mesti ngasih training di Jakarta jam 10, tapi udah sampe ibukota jam 6.30. Akhirnya nyari daerah buat ngupi dulu. Ketemu deh sama Starbak. I am not a big fan of this coffee shop tetapi karena ini satu-satunya yang buka jam segini, ya mau gak mau risikonya mampir juga.


Makara inget beberapa minggu yang lalu aku mewawancarai calon mahasiswa yang hendak masuk ke kampus tempat aku mengajar (Iya, kalau mau masuk ke kampus saya ada tes tertulis dan wawancaranya). Seorang anak muda, perempuan, ia ingin lanjut ke Diploma IV (beliau lulusan Diploma III). Salah satu syarat untuk mampu lanjut ya mesti pernah kerja minimal 1 tahun. Nah, anak ini ketika aku wawancara masih melakukan pekerjaan di Starbak sebagai Barista, yang suka membuatkopi.


Saya ini addicted to coffee. Good coffee of course. Buat aku, life is too short for bad coffee. So, I asked her, kenapa Starbak laris keras? dengan gembira dia menyebutkan bahwa kopi yang digunakan yaitu kopi yang terbaik. Kemudian beliau bercerita bagaimana Starbak mengambil kopi terbaik dari Indonesia, kemudian dibawa ke Seattle untuk di roasting, dan kemudian roasted coffee-nya balik lagi ke Indonesia untuk dijual di gerai-gerainya. Lanjut lagi, yang membedakan Starbak dengan coffee shop laen, katanya, yaitu alasannya adalah kopi yang dipakai tidak diaduk (mungkin maksudnya tidak diaduk antara Arabika dan Robusta). Hanya di Starbak yang begitu.


Saya tersenyum saja.


Dalam sejarah saya berguru wacana kopi. Ibaratnya begini, kopi itu yaitu komoditi yang tidak berbeda dengan komoditi pangan lainnya. Paling lezat ya diminum pas keadaan fresh. Kayak buah lah, paling lezat dimakan kan yang fresh.


Pernah nyimpen kacang bawang? (ini istilah kacang yang suka dihidangkan pada dikala idul fitri). Coba deh simpen kacang itu selama 2 bulan. Dijamin bakal apek dan baunya jadi gak lezat. Bikin mual. Saya ngebayangin kopi yang dibawa ke Seattle lalu dibalikin lagi ke Indonesia buat di seduh. Berapa usang perjalanannya?


Tapi anyway, aku gak menyoroti kopinya. Tapi justru perhatian saya menuju ke betapa Starbak, kedai kopi global itu, mampu memasarkan Americano (kopi hitam) yang Tall (ini adalah Starbak menyebut ukuran gelas kecil nya) seharga 29 ribu. Saya duga, beverage cost yang timbul dari kopi Americano ini gak lebih dari 4 ribu perak. Satu shot espresso yang lalu disiram dengan air panas hingga pucuk gelas.


Ada banyak hal, dan sudah banyak diulas oleh banyak sekali pengamat bisnis. Starbak ini bermain dengan gengsi. Orang kalo ngopi disini ya keliatan keren. Padahal menurut aku, ini ialah implikasi dari rantai panjang distribusi kopi.


Blue ceramic cup of coffee grounds over old newspaper. Top view.


>> [tulisan ini terhenti usang sebab kesibukan dan baru mampu dilanjutkan hari ini]


Kualanamu, 19/10/2016


Saya baru saja pulang dari Samosir. Ada pekerjaan yang harus dilakukan disana. Beberapa kali ngobrol dengan penduduk lokal dari Kecamatan Siborong-Borong, Tapanuli Utara (tempat Bandar Udara Silangit), sampai dengan Parapat dan Samosir. Saat melanjutkan menulis ini aku sedang di Bandara Kualanamu, transit sebentar sebelum melanjutkan ke Bandung.


Masyarakat sekitar Danau Toba telah sangat mahfum, kopi ialah komoditi yang laku. Ketika ngobrol dengan salah satu camat disana, ia dengan bangga memberikan sebuah gudang kopi kepunyaan masyarakatlokal yang (kata dia), 100% kopinya diekspor ke Kanada. Kopi Sumatera memang telah sangat mendunia. Reputasinya luar biasa. Gak heran banyak pedadang kopi dunia yang berkunjung kesini. Dengan gamblang beliau juga bercerita, kopi Starbak juga ambil dari sekitar sini. Saya tersenyum. Statement-nya benar apa adanya.


Tetapi ada satu hal yang mesti dikenali. Starbak gagal total di Australia. Kedai kopi asal Amerika ini tunduk sama budaya minum kopi yang mengakar besar lengan berkuasa di Aussie. Disana, konon, kedai kopi udah kayak warteg. Ada di setiap pengkolan. Budaya minum kopi yang bermutu juga telah mengakar jauh sebelum Starbak ada.


Cerita yang sama terjadi di Israel.


(Kalau anda pribadi gatel karena denger kata ‘Israel’, ya skip saja paragraf di bawah ini)


Secara geografis dan kultural, Israel yakni konferensi antara budaya barat dan timur. Imigran banyak berasal dari Yaman, Jerman, Uzbekistan dan bahkan Amerika. Makanan dan minuman disana banyak dipengaruhi oleh budaya pendatang ini.


Di Israel, cafe-cafe Italia banyak menghidangkan Espresso atau Machiatto dengan variasi kopi Turki yang penuh ‘flavor’. Berbeda banyak dengan kopi ala Amerika (Americano) yang tipis, pahit dan sarat dengan air panas. Walaupun di Israel budaya minum kopinya telah panjang, namun secara statistik mereka hanya minum 0,4 gelas setiap harinya. Bandingkan dengan warga Belanda yang rata-rata minum 2,4 gelas perhari. Walaupun begitu, ternyata berat untuk gerai kopi internasional macam Starbak untuk menembus hegemoni minum kopi lokal. Hasilnya? Tidak ada satu Starbak-pun di Israel.


Demikian juga di Australia.


Masuk di tahun 2000, mereka hanya perlu waktu 14 tahun untuk menyadari kegagalan. Setelah menutup 61 (dari total 84 gerai) di tahun 2008, pas tahun 2014 Starbak menyerah.


Warga Australia berbeda dengan kita di Indonesia. Selain budaya minum kopi bermutu yang sudah ada dari dulu, warga Aussie gak mau didikte sama Starbak. Dengan lalai, Starbak menyamakan strategi masuk gerainya dengan negara-negara lain. Karena kuat di jalur distribusi, kedai kopi internasional ini membuka tokonya di Australia langsung banyak. Pemegang lisensi di Australi yakni Whithers Group. Pemilik merek jaringan 7-Eleven di Australia. Nemu kan benang merahnya? *nyengir*


Kesalahan lazim Starbak intinya terjadi di semua ‘Big Boys’. Meremehkan budaya setempat.


Tetapi kesalahan terbesarnya adalah : datang ke Australia dengan kepala mendongak, sombong, angkuh dan besar kepala sambil (seakan-akan) berkata ‘bro, bukan begitu cara minum kopi, begini lho cara yang bener’. Failed.


Banyak pelajaran yang bisa dipetik di masalah di atas. Saya juga pernah menulis ihwal kenapa kita mesti belajar dari Zalora dan Multiply. Multiply mati sebelum meningkat sedangkan Zalora masih kembang-kempis. Masih penasaran juga? Lihat apa yang terjadi dengan FoodPanda. Startup ini gagal mendefinisikan bisnisnya di Indonesia. Tergerus oleh Gojek lewat GoFood-nya. Ketika sadar bisnisnya telah mulai menurun, FoodPanda Indonesia sempat menggeser layanannya ke pasar korporat. Tapi tetep saja pivot ini gak cukup untuk memperpanjang daur hidupnya. Setelah rumor akan dijualnya FoodPanda Indonesia, terbukti ditahun 2016 ini mereka menutup layanan dan hengkang dari Indonesia. FoodPanda, berdasarkan saya, tidak memperoleh ‘tipping point’nya untuk melambung tinggi. Berbeda dengan Gojek yang fenomenal.



Semua pola di atas menunjukkan bahwa dana besar, pengalaman internasional sampai dengan tingkat pede yang tinggi, tetap tidak bisa menjamin kelancaran hidup perusahaan. Perlu dicermati yakni KasKus sehabis ditinggal pendirinya, Ken Dean Lawadinata. Setiap Kaskuser yang saya temui, hampir semuanya mengaku kecewa dengan forum ahli ini. Film Kaskus juga gagal mendongkrak forum ini kembali menjadi ‘top of mind’. Konsep monetize Kaskus berjalan dengan kaku, tertutup dan justru berkesan sembarang pilih. Kita semua punya kenangan indah dengan forum ini. Haruskan kita ucapkan selamat tinggal? Praktis-mudahan jangan.


Dalam perjalanan aku ketemu dengan internet marketer di seluruh Indonesia, banyak misi yang mesti aku sebarkan. Salah satunya ialah memperbesar rasa percaya diri. Gak usahlah kita bicara startup besar. Kebanyakan pemilik toko online kita masih banyak yang naif. Banyak alesan dan gak pede. Untuk meng-online-kan produknya, banyak yang telah mundur terencana cuma sebab latar belakang yang bukan IT. Biasanya, mereka berpengaruh di offline tetapi galau masuk ke online. Kalau mempunyai second generation, sosial media menjadi opsi. Yang menjalankan bisnis anaknya. Sosial media ialah platform murah yang mampu dipakai tanpa perlu kesanggupan bidang teknologi info yang tinggi.


Prinsipnya : if you’re not online, you’re not exist. Titik.


Pengusaha setempat, dengan produk lokal yang dibuat secara setempat, tidak sepantasnya merasa cemas dengan serbuan korporat dunia. Selain memang setiap orang telah punya garis tangan rejeki sendiri-sendiri. Pengusaha lokal ialah gudangnya pengetahuan. Membidik pasar lokal, secara logika saja, harus bisa dimenangkan oleh pengusaha yang memang hanya bermain lokal.


Pasar online Indonesia, bagaimana bilangnya ya, masih sangat ‘early stage’. Walaupun kesanggupan ekonomi telah membaik, dibuktikan dengan bertambah banyaknya kelas menengah di Indonesia, tetapi mereka juga masih sungguh-sungguhbelum mengetahui betul proses digitalisasi yang sedang terjadi. Lihat saja di sekeliling kita, saya yakin siapa pun sudah memegang ponsel pintar. Iya, smartphone dengan operating system. Di kapal balik dari Samosir menuju Parapat kemarin, ada seorang ibu-ibu yang sedang videocall dengan anaknya yang berada di Jakarta. Saya lirik di ponsel pintar-nya ada aplikasi BigoLive (Hhmmm..). Di sebelah kanan jauh, seorang bapak separuhbaya sibuk memotret panorama Danau Toba dengan handphone Samsung-nya. Ketika kami ngobrol, ia bilang foto-foto ini tidak cuma untuk anaknya yang berada di Surabaya, tetapi juga untuk menghiasi akun IG-nya. Bapak itu telah 3 hari di Parapat untuk meeting dengan perusahaan tempatnya melakukan pekerjaan .


Dua-tiga tahun yang lalu, pasar Indonesia masih sama mirip ini. Ketika saya mempromosikan AppsInstall dengan traffic PopUp dari salah satu CPM Network, landing page aku split menurut klasifikasi : landai, menengah dan ngeri. Landai itu mempunyai arti landing page yang aku pake sama sekali bukan aggresif, menawarkan opsi yang santai untuk install. Kalau klasifikasi ngeri mempunyai arti landing page sudah sangat aggresif. Gak mampu bergerak. Mau gak mau harus install (pemain Appsinstall niscaya ngerti). Hasil hasilnya, ternyata, sama saja. Perbedaan Conversion Rate-nya tipis diantara landing page. Pasar Indonesia tahu bagaimana cara install, tapi gak tau bagaimana meng-uninstall aplikasi.


Ya seperti itulah pengguna ponsel pintar kita. Secara ‘growth’ sungguh tinggi, tapi secara ‘knowledge’ masih terbatas.


Dua hari kemudian, seorang sobat menyelenggarakan poling online. Khusus kepada para perempuan mudah ia menanyakan : bila telah pada gajian, apa yang ingin sekali dibeli. Jawabannya kita semua sudah tahu : KOSMETIK. Pasar kosmetik di Indonesia, jikalau aku bilang, pasar gelap mata. Ambil saja sembarang kosmetik grosir di Tokopedia, kontak penjualnya untuk dropship, bikinkan landing page sendiri, pake ‘cemas untuk tidak bagus’ dalam copywriting, naikkan harganya 500% dan mulailah beriklan di Facebook. Langsung, hari itu juga, anda akan kebanjiran orderan. Pasarnya gelap mata bro. Gak peduli produknya telah ada BPOM atau belum, yang penting panik mereka muncul pada saat liat landing page kita. Tombol ‘Beli’ itu akan dipencet dengan yakin diri.


Siapa yang tahu rahasia ini? Kita. Iya kita. Anda dan aku. Karena kita hidup, memperhatikan, dan selalu bersentuhan dengan apa yang terjadi di penduduk lokal. Kosmetik adalah barang barang jualan yang tidak akan pernah mati. Setiap perempuan ingin terlihat elok. Apalagi ABG 4l4y-4l4y itu. Ya kan? Iya.


Makara apa yang mesti dilakukan?


Pertama, jangan takut sama serbuan korporat. Baik korporat nasional maupun dunia. Produk mereka mungkin lebih baik, lebih bervariasi, namun tetap saja, mereka akan gagap bahasa dikala masuk pasar setempat. Copyrwiting skill perusahaan besar ini diserahkan terhadap agensi periklanan yang akan memandang pasar-nya dengan angka-angka. Sungguh heran, dikala dalam perjalanan dari Tapanuli Utara menuju Parapat aku mendapatkan billboard rokok yang sangat besar dengan gambar bule dan tulisan bahasa inggris yang rumit. Dan itu gak cuma satu. Ada beberapa.


Beberapa bulan terakhir juga aku mengamati copywriting lokal dan internasional. Maksudnya, produk internasional yang masuk pasar setempat dengan produk lokal yang membidik pasar setempat. Jauh bro. Marketer setempat kita sukses menterjemahkan apa keperluan market yang paling mendasar. Yang produk internasional? Berusaha bergaya dengan gaya gila. Sama sekali tidak membumi.


Hal yang serupa terjadi di bisnis kuliner. Serbuan gerai franchise internasional tidak mengendurkan semangat usahawan lokal. Di Indonesia, Starbak masih diminati, namun kedai kopi specialty setempat kini mulai menjamur. Kebutuhan minum kopi bermutu mulai menanjak. Ahli kopi dadakan bermunculan. Coffeeshop setempat ini senantiasa memiliki ‘business enabler’ yang unik. Salah satunya : tempatnya mesti instagram-able. Pasar generasi muda acap kali tidak acuh dengan produk inti, namun jutru tertarik dengan supporting-nya : ambience. Di Bandung banyak contohnya, kedai kopi setempat dengan menu kopi yang amburadul namun rame banget. Rame yang selfie. Gak papa, yang penting mereka beli kopinya juga.


Yang kedua, koporasi besar tidak mengetahui bagaimana harus upsell. Karena mereka fokus di kuantiti, upsell bagi mereka cuma buang-buang waktu saja. Ini celah cantik. Kalau anda jualan kosmetik, jual-lah produk upsell-nya. Maksudnya gini, jika anda jualan ‘produk yang membuat manis’, maka jual-lah juga ‘produk yang membuat mereka lebih anggun lagi’. Kalau anda jualan produk fashion, buatlah mereka ‘merasa mesti lebih cakep lagi’ dengan berbelanja produk yang lain.


Konsep upsell ini bukan barang baru, tetapi gak banyak yang bisa. Saya berguru banyak dari produk Skincare, Muscle atau bahkan Hairloss di Affiliate Network. Upsell mereka ajaib. Tidak ada satu produkpun yang tidak di upsell. Setelah melalui halaman checkout, customer dipaksa untuk menyaksikan halaman upsell yang penuh komitmen cantik. Selain itu, digelontorkan juga diskon besar untuk produk upsell-nya. Beberapa Affiliate Marketer yang aku temui di Bangkok tahun lalu bahkan bilang, banyak yang menawarkan gratis produk khususnya cuma alasannya produk upsell-nya memberikan lebih banyak profit.


Siapa yang mampu berbuat mirip ini? Jawabanya satu : ya pemasar setempat.


Ketiganya, begini. Ada satu buku yang selalu menjadi tutorial aku dikala pandangan baru sedang mampet. Ditulis oleh Kafi Kurnia, judulnya Anti Marketing. Ini antitesis dari Pemasaran. Kafi selalu bilang, ubah PEMASARAN menjadi PENASARAN. Ubah aksara ‘M’ dengan ‘N’ dan anda akan mendapatkan harta karun yang luar biasa. Diawal baca buku ini, saya suka tertawa sendiri. Bener juga ya. Kita ini yakni biangnya ingin tau. Semakin kita penasaran, semakin kita gak masuk logika.


Akun @DapurGladies misalnya. Di permulaan-awal dulu mampu bener mempergunakan penasaran orang. Ketika produk brownies-nya banyak dicari orang, distribusinya justru disendat. Dalam sebulan, open PO-nya hanya 4 jam saja. Waktunya juga gak pasti. Tapi kesannya aneh. Orang rela antri untuk mendapatkan brownies-nya. Contoh lain? Fenomena @VanillaHijab salah satunya. Open order dibatasin. Distribusi disendat-sendat. Orang semakin ingin tau. Penjualannya : BOOM!


Hal yang sama dengan @NamaazDining. Satu-satunya kedai makanan Indonesia dengan desain Molecular Gastronomi ini, diawal buka juga memainkan rasa penasaran customernya. Membidik pasar high-end, Namaaz Dining sukses membuat antrian panjang. Mau makan disana, harus antri sebulan. Orang dibuat ingin tau. Pake banget.


Ah sudahlah.


Pasar Indonesia ini sedang sungguh gurih. Produk apa saja mampu laku dijual. Istri saya juga banyak berbelanja barang-barang yang dipajang di Instagram untuk menghias rumah kami. Mulai dari piring, cangkir sampai dengan selimut. Semuanya dimulai dari kebutuhan yang lalu difasilitasi oleh teknologi (ponsel pintar) dan balasannya bermetamorfosis daya beli.


Indahnya pasar lokal. Sekarang saatnya kita menuai. Sebelum habis oleh korporat internasional. Yuk.



Sumber harus di isi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama